Listrik Indonesia | PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) menyatakan optimisme tinggi terhadap prospek pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, khususnya dari sektor pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mempercepat transisi energi menuju Net Zero Emission pada 2060.
Direktur Utama ARKO, Aldo Hendry Artoko, menegaskan bahwa EBT memiliki peran strategis dalam menjaga ketahanan energi nasional di tengah ketidakpastian global dan fluktuasi harga energi fosil. Menurutnya, kondisi geopolitik, seperti konflik internasional dan krisis energi global, semakin memperkuat urgensi untuk beralih dari ketergantungan pada bahan bakar fosil.
“Energi adalah fondasi utama dari biaya produksi. Jika listrik mahal, maka seluruh sektor bisa terdampak. Karena itu, sejak awal berdiri, ARKO memegang visi bahwa Indonesia harus dan akan beralih ke energi terbarukan,” ujar Aldo dalam siaran dialog, pada Sabtu (10/5/2025).
Saat ini, ARKO memiliki kapasitas pembangkit terkontrak sebesar 42,8 Megawatt. Perusahaan menargetkan pertumbuhan kapasitas hingga 50-60% pada 2025, dengan pipeline proyek pengembangan di atas 200 MW. Namun, untuk mencapai target ambisius tersebut, Aldo menekankan pentingnya penguatan sumber daya manusia (SDM) di sektor EBT.
“Talent acquisition adalah tantangan utama kami. Kami butuh orang-orang yang bekerja dengan hati, yang punya komitmen membangun bangsa lewat transisi energi. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal semangat dan visi ke depan,” katanya.
ARKO juga terus bersiap menghadapi percepatan realisasi proyek baru seiring akan diterbitkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) oleh PLN. Sebagai perusahaan terbuka, ARKO memiliki akses pendanaan yang kuat, termasuk dari penerbitan green bond yang sukses dilakukan pada 2023.
Terkait insentif pemerintah bagi proyek EBT, Aldo mengakui bahwa isu ini cukup kompleks. Menurutnya, biaya pembangunan PLTA bisa sangat bervariasi tergantung kondisi geografis dan teknis. Oleh karena itu, pendekatan tender terbuka yang saat ini dijalankan pemerintah dinilai cukup realistis.
“Daripada menunggu insentif yang prosesnya panjang dan rumit, lebih baik proyek-proyek dengan ongkos pembangunan yang efisien segera dijalankan. Tapi tentu ke depan, insentif tetap dibutuhkan agar semua skala proyek bisa berjalan,” jelasnya.
ARKO juga mencermati meningkatnya minat investasi asing di sektor PLTA. Pemain dari Eropa, Jepang, dan Tiongkok disebut aktif memburu proyek-proyek hidro di Indonesia. Meski demikian, Aldo berharap pelaku lokal tidak tinggal diam.
“Kita jangan hanya jadi penonton. Energi adalah isu strategis. Lokal harus ikut ambil bagian, berinvestasi, dan membangun kapasitas. Ini soal masa depan bangsa,” tutupnya.
