Listrik Indonesia | Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Indonesia bukan perkara mudah. Dibutuhkan waktu 10 hingga 12 tahun untuk membawa proyek ini dari tahap perencanaan hingga beroperasi penuh. Hal itu disampaikan oleh Chief Executive Officer Kalla Group, Solihin Jusuf Kalla, yang menegaskan bahwa kendala geografis dan perizinan menjadi hambatan utama dalam mengembangkan potensi besar energi air di Tanah Air.
“PLTA itu kebanyakan dibangun di daerah terpencil, di tengah hutan dengan kontur tanah yang ekstrem. Sebagian besar areanya masuk dalam kawasan hutan lindung, yang tentu saja membutuhkan perizinan berlapis dari Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Solihin dalam siaran diskusi terkait pengembangan energi baru terbarukan (EBT), dikutip Rabu, (30/7).
Sebagai contoh, proyek PLTA Kalla Group di Mamuju membutuhkan pembangunan jalan sepanjang 200 kilometer hanya untuk mencapai lokasi utama, ditambah 50 kilometer lagi untuk menjangkau ketinggian 1.000 meter tempat reservoir berada. Semua itu dilakukan di luar proses perizinan Amdal dan administrasi lainnya.
Potensi 350 MW, Tapi Masih Dalam Tahap Studi
Meski menghadapi tantangan berat, Kalla Group tetap optimis dengan potensi energi air yang dimiliki Indonesia. Proyek di Mamuju dan pengembangan lanjutan di Poso (PLTA Poso 3) saat ini sedang dalam tahap studi dengan kapasitas awal yang diperkirakan mencapai 350 MW. “Kami masih dalam tahap on-the-estimate study, tapi potensinya sangat menjanjikan,” ungkap Solihin.
Tak hanya menghasilkan energi bersih, kehadiran PLTA juga terbukti membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi wilayah sekitar. Kalla Group mencontohkan proyek di Poso yang mampu memulihkan ekonomi pasca-konflik. "Saat kami membangun PLTA di Poso, ekonomi daerah ikut tumbuh. Lapangan kerja tercipta, dan geliat bisnis lokal mulai bangkit kembali,” kata Solihin.
Hal yang sama terjadi di Toraja, di mana dua PLTA milik Kalla Group, yakni PLTA Malea dan PLTA BMS, memberikan kontribusi besar. PLTA BMS bahkan digunakan untuk mendukung produksi green nickel di smelter milik Kalla Group di Palopo. “Outputnya adalah nikel hijau yang seluruhnya berasal dari energi terbarukan. Ribuan tenaga kerja terserap, dan multiplier effect-nya sangat terasa di daerah,” lanjutnya.
Biaya Tinggi, Margin Tipis
Namun, dari sisi keekonomian, PLTA tetap menjadi tantangan tersendiri. Biaya Pokok Produksi (BPP) sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan akses. Proyek-proyek yang jauh dari akses nasional biasanya memiliki BPP yang lebih tinggi. “PLTA itu sangat custom, beda dengan PLTG atau PLTU. Turbin dan kapasitas disesuaikan dengan debit dan kecepatan aliran air,” jelas Solihin.
Pemerintah sendiri menetapkan harga pembelian listrik dari PLTA antara 7 hingga 10 sen dolar AS per kWh. Dengan margin yang kecil dan investasi besar di awal, return of investment bisa memakan waktu hingga 10 tahun.
Meskipun berat, Kalla Group menegaskan komitmennya untuk terus mendorong pengembangan PLTA sebagai bagian dari transisi energi nasional. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, dua proyek besar PLTA di Mamuju dan PLTA Poso 3 menjadi prioritas utama.
“Kami berharap pemerintah mempercepat proses perizinan, termasuk peningkatan kapasitas transmisi dan jaringan listrik. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa mencapai target 5,5% per tahun,” harap Solihin.
