Listrik Indonesia | Di balik perhatian publik terhadap skandal mega korupsi senilai Rp 300 triliun di tubuh PT Timah Tbk (TINS), tersimpan kisah pilu dari para pegawai perusahaan pelat merah tersebut. Kepercayaan yang runtuh, semangat kerja yang menurun drastis, dan tekanan psikologis yang berat menjadi kenyataan pahit yang mereka hadapi.
Hal ini diungkapkan Direktur Utama (Dirut) baru PT Timah, Restu Widiyantoro, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI pada Rabu (14/5/2025). Menurutnya, pengungkapan kasus korupsi besar yang menyeret nama Harvey Moeis sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang, telah meninggalkan dampak serius terhadap kondisi mental para pegawai.
"Sejak Kejaksaan melakukan tindakan hukum yang intensif, moral dan kinerja karyawan kami benar-benar terpukul. Mereka seperti kehilangan pegangan dan kepercayaan terhadap pimpinan perusahaan. Ada rasa takut, kecewa, dan bahkan putus asa," ungkap Restu.
Ia menjelaskan bahwa atmosfer kerja di internal perusahaan sempat diselimuti ketidakpastian. Banyak pegawai merasa dikhianati, sebab selama ini mereka bekerja tanpa menyadari adanya praktik kejahatan besar yang merugikan negara.
Sebagai langkah awal dalam 100 hari kerjanya, Restu menekankan pentingnya reformasi tata kelola dan penguatan sistem keamanan internal perusahaan. Ia menyadari bahwa pemulihan tidak hanya bersifat struktural, namun juga emosional.
“Prioritas kami adalah membenahi tata kelola perusahaan, terutama sistem pengawasan dan keamanan. Namun lebih dari itu, kami juga fokus membangkitkan kembali moral dan kepercayaan diri pegawai,” tegasnya.
Restu menambahkan bahwa tugas berat ke depan adalah memulihkan semangat kerja dan menjamin para pegawai merasa aman dan dihargai. Ia berharap langkah ini menjadi titik balik bagi PT Timah untuk bangkit dari keterpurukan.
Sebagai informasi, kasus mega korupsi yang mengguncang PT Timah menyeret Harvey Moeis, yang terbukti terlibat dalam pengaturan distribusi timah ilegal di area Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ia menerima aliran dana hingga Rp 420 miliar dari praktik yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Peristiwa ini menjadi salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah industri pertambangan nasional dan meninggalkan luka mendalam bagi korporasi.
