Listrik Indonesia | Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menekankan pentingnya pembangunan jaringan transmisi listrik dalam mendukung transisi energi bersih. Hingga 2034, Indonesia diperkirakan membutuhkan tambahan 48 ribu kilometer sirkuit transmisi untuk menghubungkan pembangkit baru, yang sebagian besar berbasis energi terbarukan.
Dalam rapat dengan Komisi XII DPR RI, Darmawan mengungkapkan pembangunan infrastruktur tersebut membutuhkan dukungan kuat dari pemerintah. Pasalnya, dana yang dibutuhkan mencapai Rp434 triliun, sementara tingkat pengembalian investasi (rate of return) hanya 2–4%, jauh di bawah biaya pendanaan (cost of fund) sekitar 8%.
“Dengan kondisi seperti itu, jelas pembangunan transmisi tidak cukup menarik bagi investor. Bahkan dari sisi keuangan, PLN juga tidak bisa menanggungnya sendirian tanpa peran negara,” ujar Darmawan. Selasa, (26/8/2025).
Pemerintah dan PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menetapkan target penambahan kapasitas pembangkit hingga 69,5 gigawatt (GW). Dari jumlah tersebut, sekitar 76% ditujukan untuk energi baru terbarukan (EBT) dan sistem penyimpanan energi.
Pada periode lima tahun pertama, PLN akan menambah kapasitas 27,9 GW, terdiri dari 9,2 GW pembangkit gas, 12,2 GW berbasis EBT, 3 GW sistem penyimpanan energi, serta 3,5 GW PLTU batu bara yang konstruksinya sedang berjalan. Sementara pada lima tahun berikutnya, fokus diarahkan ke pembangkit EBT dan sistem penyimpanan sebesar 37,7 GW atau sekitar 90% dari tambahan kapasitas, dengan sisanya 3,9 GW masih berasal dari fosil.
Direktur Legal dan Manajemen Human Capital PLN, Yusuf Didi Setiarto, menambahkan rendahnya tingkat pengembalian membuat investasi transmisi kurang diminati swasta. “Infrastruktur transmisi harus tetap tersedia, tapi kita juga harus menjaga agar keuangan PLN tidak tertekan. Karena itu, keterlibatan negara menjadi sangat penting,” tegasnya.
Transmisi Listrik Tak Menarik Investor, PLN Minta Peran Pemerintah
Ilustrasi Proyek Jaringan Listrik
.jpg)
