Current Date: Selasa, 25 November 2025

Dilema BUMN, Antara Profit dan Benefit

Dilema BUMN, Antara Profit dan Benefit
Gedung BUMN.

Listrik Indonesia | Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi tantangan besar bagi DPR RI dan pemerintah. Aturan baru ini diharapkan mampu mengakomodasi dua orientasi yang kerap berseberangan, yakni tuntutan keuntungan (profit) dan mandat negara sebagai agent of development yang dijalankan oleh BUMN.

Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI, Gde Sumarjaya Linggih, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama sejumlah pakar hukum dari UGM, Universitas Jember, dan Universitas Lampung di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (25/9/2025).

“Ini memang susah-susah gampang bikin undang-undang ini. Satu pihak terkait dengan undang-undang PT, satu pihak terkait dengan BUMN ini adalah merupakan agent of development. Tentunya kalau agent of development menjadi benefit-oriented, sementara kalau kita undang-undang PT, profit-oriented. Ini persoalan, susah ini antara bicara benefit atau bicara profit,” ujar Demer, sapaan akrabnya.

Ia mencontohkan pembangunan kawasan Nusa Dua oleh ITDC sejak 1970-an. Menurutnya, jika dilihat hanya dari kacamata investasi, kawasan itu tidak memberikan keuntungan finansial dalam jangka panjang. Namun, dari sisi manfaat, kawasan tersebut memberikan dampak besar bagi perekonomian dan pariwisata Bali. “Kalau dipikir dengan business judgment rule, ini nggak pernah untung tapi secara benefit, Bali nggak akan seperti sekarang,” katanya.

Contoh tersebut, menurut Demer, menunjukkan bagaimana mandat pembangunan BUMN bisa memberikan manfaat yang melampaui logika profit semata. Meski demikian, ia juga menyoroti dilema dalam penerapan business judgment rule (BJR). BJR sejatinya memberi perlindungan bagi direksi yang mengambil keputusan dengan itikad baik dan kehati-hatian. Namun, praktiknya, aparat penegak hukum sering menggunakan pendekatan result-oriented, menjadikan kerugian sebagai dasar awal penyelidikan pidana. Hal ini membuat pejabat BUMN tetap rentan meski menjalankan penugasan publik.

Demer kemudian menjelaskan lima alasan utama pendirian BUMN, yakni: alasan keamanan, penugasan khusus seperti penyediaan pangan, riset dan pengembangan yang belum menghasilkan keuntungan, pengembangan daerah tertinggal, serta proyek besar yang terlalu berisiko untuk dijalankan oleh swasta, seperti infrastruktur pelabuhan.

“Kalau kita kejar profit terus, berat juga kondisi negara kita yang sedang berkembang. BUMN sangat diperlukan sebagai pemacu pertumbuhan,” ujarnya.

Karena itu, revisi UU BUMN dinilai harus merumuskan kriteria jelas untuk membedakan aktivitas BUMN yang bersifat penugasan publik dari aktivitas komersial. Menurut Demer, mandat publik perlu didukung dengan perlakuan khusus, seperti subsidi atau perlindungan hukum, sementara aktivitas bisnis tetap harus tunduk pada mekanisme pasar dan prinsip akuntabilitas.

Ia menekankan pentingnya merancang formula hukum yang seimbang, agar BUMN bisa menjalankan fungsi pembangunan tanpa membuat pejabatnya rentan pada tuntutan pidana ketika keputusan bisnis berujung kerugian. 

“PR yang luar biasa ini. Semoga nanti dalam panjang kita menemukan suatu formula yang bisa menggabungkan antara profit dan benefit antara undang-undang PT dan penugasan agent of development ini bisa berjalan,” ungkapnya.

Menutup pernyataannya, Demer menegaskan bahwa keberhasilan revisi UU BUMN bergantung pada kesepahaman semua pihak. 

“Kita sama-sama PR ini dengan para profesor ini, semoga nanti dalam panjang kita menemukan suatu formula yang bisa menggabungkan antara profit dan benefit,” pungkas politisi Fraksi Partai Golkar itu.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#BUMN

Index

Berita Lainnya

Index