Listrik Indonesia | Prospek pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di sektor industri dinilai kian menjanjikan. CEO & Founder Suryanesia, Rheza Adhihusada, menyatakan optimisme bahwa penambahan kapasitas terpasang PLTS atap dapat mencapai 16,5 Gigawatt peak (GWp), khususnya melalui model layanan Solar-as-a-Service (SaaS) yang menyasar segmen industri dan komersial.
Menurut Rheza, skema SaaS memberi kemudahan bagi pelaku usaha karena memungkinkan pemanfaatan energi surya tanpa investasi awal yang besar. Pendekatan ini juga memberikan kepastian penghematan biaya energi, fleksibilitas kontrak, serta layanan purna jual yang berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa strategi bisnis Suryanesia berfokus pada pengelolaan pendapatan yang sehat dan pengendalian biaya agar manfaat ekonomi dapat dirasakan langsung oleh pelanggan.
Sebagai perusahaan yang bergerak di pengembangan energi baru terbarukan, Suryanesia memusatkan perhatian pada pengembangan PLTS atap untuk meningkatkan efisiensi energi di sektor industri dan komersial. Saat ini, sekitar 95 persen klien Suryanesia berasal dari kalangan pabrikan, sementara sisanya merupakan pusat perbelanjaan dan bangunan komersial.
"Mayoritas proyek masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, meskipun perusahaan telah mengembangkan beberapa proyek di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan,"ujarnya dalam tayangan wawancaranya. Dikutip Senin, (29/12/2025).
Dalam jangka pendek, Jawa tetap menjadi pasar utama karena skala proyek yang besar dan kesiapan infrastruktur pendukung. Rheza menilai segmen industri dan komersial memiliki daya tarik paling tinggi karena mampu menghasilkan penghematan biaya yang signifikan. Sementara itu, segmen residensial belum menjadi prioritas karena proyeknya relatif kecil dan membutuhkan waktu serta sumber daya besar untuk membangun portofolio.
Suryanesia juga melihat potensi besar pengembangan PLTS di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Banyak wilayah 3T masih mengandalkan genset diesel dengan biaya operasional tinggi dan pasokan listrik yang tidak stabil. PLTS dinilai menjadi solusi yang efisien, namun realisasi proyek masih menunggu kepastian regulasi pemerintah, khususnya terkait rencana pengembangan 100 GW PLTS untuk wilayah 3T.
Dari sisi implementasi, pengembangan PLTS atap memerlukan proses bertahap sebelum mencapai kesepakatan kontrak. Tahapan tersebut meliputi kajian keamanan struktur bangunan, perhitungan potensi penghematan biaya listrik, hingga penyesuaian durasi kontrak dengan kebutuhan pelanggan. Suryanesia berperan aktif mendampingi pelanggan sejak tahap awal perencanaan hingga layanan purna jual untuk memastikan kinerja sistem tetap optimal.
Rheza menekankan pentingnya kolaborasi antara pengembang, pemerintah, PLN, dan para vendor untuk memperlancar perizinan dan pelaksanaan proyek. Ia juga menilai penyederhanaan regulasi di tingkat daerah menjadi faktor penting untuk mendorong percepatan adopsi PLTS atap. Dukungan internal perusahaan serta kemitraan strategis dengan ITMG dan kontraktor menjadi modal penting bagi Suryanesia dalam memperluas portofolio proyek.
Ke depan, Suryanesia menargetkan kapasitas pemasangan PLTS atap mencapai 1 GW di Indonesia pada 2026. Selain itu, perusahaan juga berambisi berkontribusi dalam pengembangan proyek energi terbarukan berskala besar dengan mendukung PLN melalui skema Independent Power Producer (IPP).
PLTS Atap Jadi Primadona Industri
Ilutrasi Pemasangan PLTS Atap untuk Industri

