Listrik Indonesia | Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyatakan kekhawatirannya atas eskalasi perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang berpotensi berdampak besar terhadap industri kelapa sawit nasional. Menurutnya, situasi ini bisa memicu krisis ekonomi global yang secara langsung akan mengganggu pasar ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia.
"Kalau ketegangan ini terus berlanjut, kami khawatir akan terjadi resesi global. Dampaknya tidak hanya pada ekspor ke AS dan Tiongkok, tapi juga ke pasar-pasar baru yang sedang kita jajaki," ujar Eddy dalam siaran dialognya. Minggu, (13/4/2025).
Ia mencontohkan, kenaikan tarif impor yang diberlakukan AS hingga mencapai 145 persen menjadi sinyal bahaya bagi stabilitas perdagangan internasional. Kondisi ini bisa mempersempit ruang gerak ekspor Indonesia, termasuk CPO, yang selama ini menjadi salah satu andalan penyumbang devisa negara.
Langkah Antisipatif Industri Sawit
Menghadapi tantangan ini, industri sawit nasional mulai memperkuat strategi internal. Eddy menekankan pentingnya peningkatan produktivitas perkebunan sebagai langkah kunci. Salah satu upaya konkret adalah mempercepat program peremajaan tanaman sawit rakyat yang dinilai masih berjalan lambat.
“Tanaman sawit yang sudah tua tidak lagi produktif. Meskipun dipupuk, hasilnya tetap tidak optimal. Solusinya harus diremajakan,” jelas Eddy.
Selain itu, GAPKI bersama pemerintah telah mendatangkan serangga penyerbuk dari Tanzania untuk meningkatkan pembentukan buah sawit. Serangga ini tengah dikembangbiakkan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan. Penelitian lain yang tengah dijalankan mencakup pemanfaatan pupuk hayati berbasis mikroba guna mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia impor.
“Dengan efisiensi biaya dan pengurangan impor pupuk, kita bisa lebih kompetitif di tengah situasi global yang tidak menentu,” tambahnya.
Strategi Serapan Domestik dan Risiko Terhadap Devisa
Meningkatnya konsumsi domestik melalui program mandatori biodiesel seperti B35 juga turut membantu menyerap produksi dalam negeri. Namun Eddy mengingatkan, peningkatan serapan ini tetap harus diimbangi dengan keberlanjutan devisa negara.
“Dana insentif biodiesel dan program peremajaan rakyat selama ini bersumber dari ekspor sawit. Jika ekspor melemah karena situasi global, maka pembiayaan program dalam negeri juga bisa terganggu,” jelasnya.
Eddy juga mencatat bahwa meski ekspor sawit tahun lalu menurun, devisa masih tercatat mencapai sekitar 27 miliar dolar AS dengan volume ekspor 30 juta ton. Namun kondisi ini dinilai rentan jika krisis global benar-benar terjadi dan ekspor makin terbatas.
Produktivitas Stagnan, B50 Bisa Jadi Tantangan Baru
Salah satu kekhawatiran lain adalah stagnasi produksi sawit nasional yang masih berkisar di angka 50 juta ton per tahun. Padahal, pemerintah berencana menaikkan mandatori biodiesel menjadi B50, bahkan B100 di masa depan.
“Kalau produksi tidak naik, maka pasokan untuk ekspor bisa tergerus. Kita masih butuh devisa dari ekspor sawit, jadi ini harus diantisipasi dari sekarang,” katanya.
GAPKI menilai percepatan peremajaan sawit rakyat menjadi kunci untuk meningkatkan produksi. Eddy menegaskan bahwa GAPKI telah mendorong anggotanya agar tak hanya membantu petani plasma, tetapi juga masyarakat sekitar melalui kemitraan yang lebih luas.
