DPR Kritik Keras Proyek DME

DPR Kritik Keras Proyek DME
Ilustrasi DME

Listrik Indonesia | Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, menyampaikan keprihatinannya terhadap minimnya referensi teknologi yang digunakan Indonesia dalam proyek hilirisasi batu bara, khususnya dalam pengembangan dimethyl ether (DME). Menurutnya, selama ini Indonesia terlalu bergantung pada satu mitra teknologi, yakni perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc.

“Dalam beberapa tahun terakhir, referensi teknologi kita dalam proyek DME hanya satu, yaitu Air Products. Padahal banyak negara lain, termasuk Tiongkok, telah jauh lebih maju dalam mengembangkan teknologi gasifikasi batu bara,” ujar Bambang dalam sebuah diskusi bersama media.

Ia mencontohkan, salah satu perusahaan asal Tiongkok diketahui mampu mengembangkan teknologi coal chemical yang tidak hanya memproduksi DME, tetapi juga berbagai produk turunan lain dari batu bara, termasuk LPG dan synthetic gas. Teknologi tersebut bahkan telah mereka jalankan sejak 15 tahun lalu.

“Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya opsi teknologi untuk hilirisasi batu bara itu sangat beragam. Tinggal bagaimana kita memilih yang paling sesuai dengan kebutuhan nasional dan memiliki efisiensi biaya,” tambahnya.

Bambang menegaskan bahwa sudah saatnya Indonesia membuka diri terhadap kerja sama teknologi dengan berbagai negara. DPR mendorong pemerintah dan BUMN terkait untuk lebih aktif menjajaki peluang tersebut demi mendukung kemandirian industri hilir batu bara.

“Intinya kita harus banyak kawan, mainnya jangan di satu tempat saja. Dengan banyak referensi, kita bisa membandingkan dan memilih teknologi terbaik dengan biaya paling efisien,” katanya.

Salah satu langkah awal yang sudah mulai dijajaki adalah kolaborasi antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Bukit Asam (PTBA) untuk memproduksi synthetic natural gas (SNG) dari batu bara. Meski masih dalam tahap kajian awal, proyek ini dinilai sebagai terobosan penting dalam diversifikasi produk hilir batu bara.

Tantangan Ekonomi dan Ketimpangan Porsi Biaya

Bambang juga menyoroti tantangan dari sisi keekonomian proyek-proyek gasifikasi. Dalam proyek kerja sama PTBA dengan Air Products, ia menyebut porsi biaya yang ditanggung oleh PTBA hanya sekitar 15–16%, sementara hampir 50% dikuasai oleh pemilik teknologi, dan sisanya dibebankan pada distribusi dan pengelolaan karbon oleh pihak lain seperti Pertamina.

“Ini yang jadi masalah. Kalau biaya teknologi terlalu mahal, ya nilai ekonomis produknya jadi tidak masuk. Padahal kita ingin hilirisasi ini menjadi substitusi energi yang lebih murah dan efisien,” ujarnya.

Ia berharap ke depan, dengan berkembangnya teknologi dari berbagai sumber, biaya produksi DME maupun produk turunan lainnya bisa lebih ditekan dan kompetitif di pasar domestik.

Hilirisasi Jadi Keharusan Jangka Panjang

Meskipun harga batu bara saat ini masih cukup tinggi di pasar global, Bambang meyakini bahwa hilirisasi adalah keniscayaan. “Akan ada satu titik di mana para pemilik tambang batu bara tidak punya pilihan selain mengolah produknya menjadi barang jadi,” katanya.

Ia mencontohkan cadangan batu bara PTBA yang mencapai 3 miliar ton. Dengan produksi 50 juta ton per tahun, dibutuhkan lebih dari 60 tahun untuk menghabiskannya. Sementara Indonesia menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

“Kalau mau capai NZE 2060, ya harus mulai hilirisasi dari sekarang. Tidak bisa terus-menerus jual batu bara mentah,” tegas Bambang.

Menutup pernyataannya, ia membuka kemungkinan penerapan skema khusus, seperti kewajiban pasar domestik (domestic market obligation), dalam proyek-proyek hilirisasi. Menurutnya, semua opsi kebijakan perlu dipertimbangkan agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pelaku utama dalam industri energi berbasis batu bara yang bernilai tambah.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Hilirisasi Minerba

Index

Berita Lainnya

Index