Listrik Indonesia | Pemerintah tengah bersiap mengimplementasikan program pencampuran biodiesel 50 persen (B50) pada tahun 2026. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, mengungkapkan bahwa langkah menuju B50 kini dalam tahap pematangan dan evaluasi. Hal ini disampaikannya dalam pernyataan resmi di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada Jumat (16/5/2025).
Yuliot menegaskan bahwa program B40 yang telah dijalankan sebelumnya berjalan dengan lancar, baik untuk sektor Public Service Obligation (PSO) maupun non-PSO. “Alhamdulillah, penerapan B40 bisa dikatakan sukses di kedua sektor,” ujarnya.
Keberhasilan tersebut menjadi pijakan bagi pemerintah untuk melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu B50. Saat ini, berbagai aspek sedang dikaji, termasuk kesiapan industri dalam negeri dan ketersediaan bahan baku utama seperti Fatty Acid Methyl Ester (FAME). “Kami sedang evaluasi dari sisi ketersediaan FAME. Secara umum, kita hampir siap. Mudah-mudahan bisa ditetapkan di awal tahun depan,” jelasnya.
Yuliot juga menyampaikan bahwa para pelaku usaha telah mulai beradaptasi dengan kebijakan ini. Banyak di antara mereka yang meningkatkan investasi serta mengamankan suplai bahan baku untuk mendukung transisi ke B50. “Beberapa produsen FAME mendapat kuota lebih besar tahun ini. Itu mendorong mereka untuk memperluas investasi dan memperkuat rantai pasok bahan baku,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia memastikan bahwa pelaksanaan B50 tidak akan berdampak pada pembukaan lahan baru. Pemerintah tetap menjaga agar program ini berjalan secara berkelanjutan. “Untuk B50 belum diperlukan ekspansi lahan. Kami terus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk memastikan kecukupan bahan baku, terutama crude palm oil (CPO). Kalau nantinya beralih ke B60, mungkin akan ada kebutuhan tambahan lahan, tapi itu pun bisa diminimalkan melalui program replanting,” paparnya.
Program B50 merupakan bagian dari strategi besar pemerintah dalam memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mendorong hilirisasi industri kelapa sawit. Dengan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil, kebijakan ini diharapkan mampu memperkuat perekonomian nasional melalui peningkatan nilai tambah produk dalam negeri.
