Listrik Indonesia | Tragedi longsor di area penambangan batu alam Gunung Kuda, Cirebon, yang merenggut korban jiwa, dinilai sebagai buah dari kelalaian sistematis dalam tata kelola tambang. Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Budi Heru Santosa, menegaskan bahwa peristiwa ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan mencerminkan rapuhnya sistem pengawasan, perencanaan, dan kepatuhan terhadap standar keselamatan.
Menurut Budi, lokasi tambang yang berada di wilayah dengan karakteristik geologi rentan seperti lereng curam, intensitas hujan tinggi, serta struktur batuan yang mudah tergerus, seharusnya menjadi perhatian utama sebelum aktivitas penambangan dimulai. Sayangnya, banyak kegiatan eksploitasi dilakukan tanpa kajian geoteknik dan zonasi gerakan tanah yang memadai.
“Penambangan di kawasan rawan tanpa riset mendalam sama saja dengan mengundang bencana. Banyak pelaku tambang mengabaikan batas kemiringan lereng yang aman, tidak menyiapkan sistem drainase, dan menjalankan operasi tanpa rencana reklamasi pascatambang yang jelas,” ujar Budi.
Ia menambahkan bahwa praktik pertambangan yang tidak mengikuti prosedur baku termasuk penggunaan alat berat tanpa perhitungan dampak lingkungan, ketiadaan jalur evakuasi, dan minimnya rambu pengamanan merupakan bukti lemahnya penerapan prinsip Good Mining Practice.
Budi juga menyoroti lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah, terutama terhadap aktivitas tambang Galian C. Menurutnya, pengawasan yang tidak optimal disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia dan pendekatan kebijakan yang belum responsif terhadap dinamika lapangan.
“Banyak pihak yang berkontribusi terhadap siklus risiko ini. Pengusaha kerap mengesampingkan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), pemerintah lamban dalam bertindak, dan masyarakat dibiarkan terlibat dalam aktivitas eksploitasi tanpa edukasi memadai,” ungkapnya.
Ia menilai tidak adanya sistem manajemen risiko, jaminan keselamatan pekerja yang lemah, serta ketiadaan data kecelakaan kerja terutama di tambang-tambang tradisional membuat potensi kecelakaan menjadi sangat tinggi dan berulang
.
Untuk itu, Budi mendesak perlunya pengawasan lintas sektor yang terintegrasi antar lembaga dan tingkatan pemerintahan. Hal ini mencakup audit perizinan, inspeksi berkala, serta tindakan tegas terhadap tambang ilegal. Ia juga mendorong pembangunan sistem pendataan kecelakaan kerja dan pemetaan zona rawan tambang sebagai basis perencanaan nasional.
Selain itu, Budi menekankan bahwa para pelaku usaha wajib menjalankan kajian geoteknik dan K3 sebelum memulai operasional tambang. Sistem drainase harus memadai, batas penggalian ditetapkan secara aman, dan rencana reklamasi harus menjadi bagian dari dokumen teknis yang diajukan sejak awal.
“Masyarakat pun tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Edukasi tentang risiko tambang ilegal, keselamatan kerja, dan konservasi lingkungan harus ditingkatkan. Pemerintah juga perlu mengembangkan alternatif penghidupan berbasis ekonomi lokal agar warga tak tergantung pada praktik tambang berisiko tinggi,” jelasnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Budi mendorong kolaborasi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan pelaku tambang untuk membangun sistem pendampingan yang menyeluruh.
“Pendampingan teknis, pelatihan keselamatan kerja, hingga penataan ulang zonasi tambang harus dilakukan secara sinergis agar praktik pertambangan kita bisa lebih manusiawi dan berkelanjutan,” tutupnya.
