Listrik Indonesia | Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menduga polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, disuarakan secara sengaja oleh pihak asing yang tidak senang dengan kebijakan hilirisasi yang kini tengah digencarkan pemerintah Indonesia. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpancing dan tetap melihat persoalan ini secara jernih.
“Kita sedang berada di situasi geopolitik dan geoekonomi yang cukup dinamis. Perlu diingat, Indonesia saat ini sedang serius mendorong hilirisasi sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Ada pihak-pihak asing yang tampaknya kurang senang dengan arah kebijakan ini,” ujar Bahlil saat ditemui di Jakarta, Jumat (7/6/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan menanggapi mencuatnya isu aktivitas tambang nikel di Pulau GAG, Kabupaten Raja Ampat, yang disebut-sebut mengancam kelestarian kawasan wisata. Bahlil menegaskan, satu-satunya perusahaan tambang yang saat ini aktif beroperasi di wilayah itu adalah PT GAG Nikel—anak usaha BUMN PT ANTAM—yang telah memegang Kontrak Karya (KK) sejak 2017 dan mulai berproduksi pada 2018.
“Yang sedang berjalan saat ini hanya PT GAG Nikel. Ini perusahaan milik ANTAM, dan ANTAM adalah BUMN,” jelasnya.
Sebagai bentuk respons cepat, pemerintah telah menghentikan sementara kegiatan operasional PT GAG guna melakukan verifikasi langsung di lapangan. Tim dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM akan turun untuk mengecek kondisi di lokasi.
“Saya sendiri akan turun langsung ke Pulau GAG untuk memastikan situasinya,” kata Bahlil.
Ia menambahkan, dari lima perusahaan yang mengantongi izin tambang di wilayah Raja Ampat, hanya satu yang saat ini berstatus aktif. Sisanya masih berada pada tahap eksplorasi.
Menanggapi wacana evaluasi terhadap seluruh izin tambang di wilayah tersebut, Bahlil menegaskan bahwa semua keputusan akan tetap berpijak pada landasan hukum. Menurutnya, tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan sebelum proses pengecekan selesai.
“Belum ke arah sana. Kita perlu klarifikasi dulu. Jangan sampai kita tertekan oleh opini yang tidak berdasar dan seolah-olah masalah ini sangat besar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bahlil juga menjelaskan bahwa PT GAG awalnya merupakan perusahaan tambang dengan Kontrak Karya sejak 1997–1998 yang sempat dimiliki oleh investor asing. Namun, perusahaan itu kemudian diambil alih oleh negara dan kini sepenuhnya dimiliki oleh ANTAM.
Terkait dampak produksi PT GAG terhadap ekspor nikel nasional, Bahlil menyatakan bahwa kontribusinya sangat kecil. Produksi tahunan perusahaan itu hanya sekitar 3 juta ton, jauh di bawah total rencana produksi nasional dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
“Produksi mereka 3 juta ton per tahun, bahkan tidak sampai satu persen dari total RKAB nikel nasional kita. Saya rasa itu sudah cukup. Saya masih ada agenda lain,” pungkasnya.
