Listrik Indonesia | Pemerintah kembali menghadapi ujian serius dalam menyeimbangkan antara ambisi investasi dan tanggung jawab perlindungan lingkungan. Inspeksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) terhadap empat perusahaan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, mengungkap sederet pelanggaran yang patut dipertanyakan bukan hanya oleh publik, tetapi juga oleh otoritas sendiri.
Dalam pengawasan yang berlangsung 26–31 Mei 2025, KLH/BPLH menyoroti praktik tambang yang berlangsung di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil wilayah yang menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, seharusnya mendapat perlindungan ketat dari kegiatan ekstraktif. Namun kenyataannya, praktik di lapangan menunjukkan lemahnya kontrol negara.
Dari empat perusahaan yang diawasi PT Gag Nikel (anak usaha Antam), PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama (penanam modal asing asal Tiongkok), dan PT Mulia Raymond Perkasa hanya tiga yang memiliki izin penggunaan kawasan hutan. Ironisnya, seluruhnya telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang mestinya menuntut kelengkapan izin lingkungan sebagai prasyarat mutlak.
Yang paling mencolok adalah temuan pelanggaran serius oleh PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran. Perusahaan ini beroperasi di area seluas 746 hektare tanpa pengelolaan air limbah dan tanpa sistem manajemen lingkungan. Pemerintah memang memasang plang penghentian kegiatan, namun langkah itu tampak terlambat: bagaimana mungkin perusahaan asing dapat menambang begitu luas tanpa pengawasan sebelumnya?
PT Gag Nikel, sebagai anak usaha BUMN PT Aneka Tambang Tbk (Antam), juga tidak luput dari sorotan. Perusahaan ini beroperasi di Pulau Gag dengan luas lebih dari 6.000 hektare, padahal pulau tersebut tergolong pulau kecil yang secara hukum tidak boleh dijadikan wilayah tambang. Fakta bahwa IUP dikeluarkan sejak 2017 menunjukkan ada pembiaran yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan terhadap perusahaan milik negara.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dalam pernyataannya, mengumumkan penghentian sementara IUP PT Gag Nikel, seraya menyatakan akan meninjau langsung ke lokasi. Namun langkah ini justru menimbulkan pertanyaan: mengapa tindakan tegas baru diambil setelah tekanan publik meningkat? Jika pemerintah mengklaim telah memiliki sistem verifikasi AMDAL dan perizinan yang ketat, mengapa perusahaan seperti PT ASP bisa beroperasi tanpa pengelolaan limbah?
"Kami ingin semuanya objektif, makanya kami kirim tim untuk verifikasi lapangan," ujar Bahlil, Jumat (6/6/2025).
Namun pernyataan ini justru mengindikasikan lemahnya proses pengawasan sebelumnya karena seharusnya verifikasi dilakukan sebelum izin diberikan, bukan setelah kerusakan terlanjur terjadi.
Dalam konteks Raja Ampat yang merupakan ikon pariwisata dan kawasan konservasi kelas dunia, pembiaran terhadap pertambangan di pulau-pulau kecil merupakan bentuk ironi kebijakan.
Di satu sisi, pemerintah gencar mempromosikan ekowisata dan konservasi laut, tetapi di sisi lain memberikan ruang luas bagi industri tambang untuk masuk ke wilayah yang sama, dengan risiko ekologis jangka panjang.
Sikap pemerintah dalam urusan tambang di kawasan sensitif seperti Raja Ampat menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi terutama yang bersumber dari komoditas nikel untuk pasar global masih menempati prioritas utama.
Padahal, kerusakan lingkungan di wilayah ini bisa berakibat permanen, merusak ekosistem yang tidak tergantikan dan menggoyahkan kepercayaan dunia terhadap komitmen hijau Indonesia.
