Listrik Indonesia | Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau yang kini dikenal sebagai Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) merupakan izin khusus yang diberikan pemerintah untuk pemanfaatan kawasan hutan bagi kegiatan di luar sektor kehutanan. Izin ini tidak mengubah fungsi dan peruntukan hutan, melainkan mengatur agar penggunaannya tetap berada dalam koridor keberlanjutan. Sektor strategis seperti pertambangan mineral, batubara, migas, dan panas bumi menjadi salah satu penerima izin ini.
IPPKH memiliki landasan hukum yang kuat, mulai dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta perubahannya, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, 61 Tahun 2012, dan 23 Tahun 2021. Teknis pelaksanaannya juga diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, salah satunya Permen LHK No. 27/2018. Pemegang IPPKH diwajibkan melaksanakan sejumlah kewajiban, seperti reklamasi lahan bekas tambang, reboisasi kawasan terdampak, rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), serta membayar kewajiban finansial seperti PNBP, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi. Kewajiban tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa pemanfaatan hutan tidak menimbulkan kerusakan permanen dan tetap memberi manfaat ekologi bagi masyarakat sekitar.
Salah satu aspek penting dalam IPPKH adalah kewajiban merehabilitasi DAS yang terdampak. Rehabilitasi tidak hanya bertujuan memulihkan ekosistem air, tetapi juga mencegah banjir, longsor, dan degradasi tanah. Jika kewajiban ini diabaikan, pemegang IPPKH dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin. Praktik pinjam pakai kawasan hutan di sektor tambang sendiri terbukti menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Di Kalimantan Timur, misalnya, deforestasi akibat perizinan pertambangan dan perkebunan telah mencapai puluhan ribu hektar. Kondisi ini tidak hanya memicu kerusakan tata air, tetapi juga mengurangi ruang hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Sejumlah pakar bahkan menilai perlunya keterlibatan DPRD setempat dalam pemberian izin IPPKH sebagai upaya memperkuat aspek keadilan dan menjaga kelestarian lingkungan.
Meski regulasi sudah ada, penerapan IPPKH masih menghadapi sejumlah tantangan. Laporan Ombudsman RI mencatat beberapa masalah, antara lain proses perizinan yang berlarut-larut, persyaratan yang tidak seragam di berbagai daerah, kurangnya transparansi pada sistem OSS, minimnya akses data spasial IPPKH, serta lemahnya pengawasan akibat keterbatasan anggaran. Kondisi ini membuat sistem perizinan rawan maladministrasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha maupun masyarakat.
Untuk meningkatkan transparansi dan akurasi data, sejumlah perusahaan mulai memanfaatkan teknologi. PT Bukit Asam Tbk, misalnya, menggunakan drone fixed-wing untuk pemetaan wilayah IPPKH. Data citra udara yang dihasilkan membantu proses pelaporan, perhitungan PNBP, hingga evaluasi pemanfaatan kawasan hutan. Namun, dalam praktiknya pemberian IPPKH juga kerap memunculkan sengketa. Kasus di Pulau Wawonii menjadi salah satu contoh ketika izin IPPKH sebuah perusahaan dibatalkan pengadilan karena adanya penolakan masyarakat. Di sisi lain, perusahaan kehutanan juga pernah melaporkan terbitnya IPPKH tanpa koordinasi yang dinilai merugikan pengelolaan hutan secara lestari.
Secara keseluruhan, IPPKH memainkan peran penting dalam mengatur keseimbangan antara pemanfaatan kawasan hutan dan pelestarian lingkungan, khususnya di sektor pertambangan. Agar izin ini benar-benar mendukung pembangunan berkelanjutan, dibutuhkan penguatan regulasi, transparansi proses perizinan, penegakan hukum yang konsisten, serta keterlibatan aktif masyarakat. Dengan demikian, IPPKH tidak hanya menjadi dokumen administratif, melainkan instrumen nyata untuk menjaga kelestarian hutan di tengah kebutuhan pembangunan nasional.
