Listrik Indonesia | PT PLN (Persero) mengambil langkah inovatif dalam menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 dengan mengadopsi pendekatan geospasial. Pendekatan ini diyakini mampu menghasilkan perencanaan kelistrikan yang lebih akurat, responsif, dan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah di Indonesia.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyampaikan bahwa masukan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjadi pemicu utama perubahan besar dalam penyusunan RUPTL kali ini. Menteri Bahlil menekankan pentingnya analisis yang lebih rinci dan mendalam untuk setiap wilayah, bukan sekadar proyeksi umum secara nasional.
“Paparan awal kami sempat ditolak oleh Pak Menteri. Beliau ingin kami benar-benar menganalisis kebutuhan kelistrikan secara detail, wilayah demi wilayah,” ungkap Darmawan dalam acara Sosialisasi RUPTL PLN 2025–2034 yang digelar di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Menanggapi arahan tersebut, PLN melakukan reformulasi dokumen RUPTL dengan menerapkan pendekatan geospasial secara menyeluruh. Metode ini menggabungkan tiga dimensi utama—ruang, waktu, dan kapasitas—untuk memastikan pembangunan pembangkit listrik selaras dengan kebutuhan riil di lapangan.
“Kami mengelompokkan berdasarkan pertumbuhan organik, industrialisasi, hingga hilirisasi. Bahkan kami petakan secara detail industri mana yang berkembang dan mana yang mulai menurun. Dari situ, kami susun rencana penambahan kapasitas yang betul-betul sesuai dengan proyeksi permintaan,” jelas Darmawan.
Ia juga menegaskan bahwa PLN tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu, yakni kelebihan pasokan listrik (oversupply) yang berdampak pada kewajiban membayar kapasitas listrik dari produsen listrik swasta (IPP) meskipun tidak digunakan.
“Oleh karena itu, keseimbangan antara pasokan dan permintaan menjadi fokus utama kami dalam penyusunan RUPTL kali ini,” tegasnya.
Lebih dari sekadar peningkatan kapasitas pembangkit, RUPTL 2025–2034 dirancang untuk mencerminkan komitmen PLN terhadap tiga pilar utama: ketahanan energi nasional, keberlanjutan lingkungan, serta kesehatan keuangan perusahaan dalam jangka panjang.
“Dari sisi Kementerian ESDM, sistem kelistrikan harus handal. Di sisi lain, sebagai BUMN, kami juga harus mencari keseimbangan agar RUPTL ini bisa dijalankan tanpa mengorbankan kekuatan dan keberlanjutan finansial PLN, baik untuk saat ini maupun masa depan,” tambah Darmawan.
Dalam dokumen RUPTL terbaru ini, energi baru dan terbarukan (EBT) mendapat porsi signifikan, yakni mencapai 61% dari total penambahan kapasitas sebesar 69,5 GW atau sekitar 42,6 GW. Rinciannya meliputi pembangkit tenaga surya sebesar 17,1 GW, tenaga air 11,7 GW, angin 7,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan tenaga nuklir 0,5 GW.
Sementara itu, pembangkit berbasis energi fosil hanya menyumbang sekitar 24% atau 16,6 GW, terdiri dari gas 10,3 GW dan batu bara 6,3 GW. Selebihnya, penguatan sistem kelistrikan juga akan didukung oleh teknologi penyimpanan energi seperti pumped storage sebesar 6 GW dan baterai 4 GW.
Total kapasitas pembangkitan sebesar 69,5 GW ini akan dibangun dalam dua tahap: 27,9 GW pada lima tahun pertama dan sisanya 41,6 GW pada lima tahun kedua.
Melalui pendekatan baru ini, PLN berharap dapat menghadirkan sistem kelistrikan nasional yang lebih adaptif, efisien, dan mendukung target transisi energi nasional menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
