Potensi Geotermal RI Baru 10% Terserap, Bahlil Janji Gaspol Percepat Pemanfaatan

Potensi Geotermal RI Baru 10% Terserap, Bahlil Janji Gaspol Percepat Pemanfaatan
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia

Listrik Indonesia | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan komitmen Indonesia untuk konsisten mendukung transisi energi bersih sesuai kesepakatan global Paris Agreement. Menurutnya, langkah ini bukan sekadar kepentingan saat ini, tetapi juga tanggung jawab bagi generasi mendatang. 

“Kita hidup tidak hanya untuk kita saja, tetapi juga untuk anak cucu kita. Maka konsistensi menjalankan kesepakatan global adalah hal penting untuk menyelamatkan bumi,” ujar Bahlil IIGCE 2025, Jakarta. Rabu, (17/9/2025). 

Potensi Geotermal Masih Terbuka Lebar 

Indonesia disebut memiliki potensi panas bumi mencapai lebih dari 27.000 MW. Namun, baru sekitar 10% atau kurang lebih 2.800 MW yang sudah dimanfaatkan. “Artinya, masih ada 90% potensi yang belum tergarap. Padahal geotermal bisa menopang green energy, green industry, dan green job,” tegasnya. 

Menurut Bahlil, salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT), termasuk geotermal, adalah pembiayaan dan infrastruktur. Investasi panas bumi membutuhkan biaya modal (capex) tinggi, sementara ketersediaan jaringan transmisi listrik yang menghubungkan sumber energi dengan pusat permintaan masih terbatas. 

Regulasi Dipangkas, Transmisi Dikebut 

Sejak menjabat Menteri ESDM, Bahlil mengaku memangkas berbagai aturan yang dianggap berbelit dan menghambat masuknya investor. “Semakin rumit regulasi, semakin tidak disukai investor. Maka regulasi kita sederhanakan agar proses percepatan bisa berjalan,” jelasnya. 

Untuk mendukung itu, pemerintah menyiapkan pembangunan jaringan transmisi sepanjang 48.000 km hingga 2035. Langkah ini ditujukan agar proyek EBT, khususnya geotermal, bisa langsung terhubung ke sistem kelistrikan nasional. 

Skema Harga Lebih Kompetitif 

Pemerintah juga menyiapkan skema harga jual listrik dari panas bumi yang lebih menarik. Dalam 10 tahun pertama, tarif ditetapkan sekitar 9,5 sen per kWh. Selanjutnya diturunkan menjadi 7,5 sen per kWh untuk periode 20 tahun berikutnya. 

“Kalau dihitung secara bisnis, break even point (BEP) bisa tercapai dalam 8–9 tahun, lebih cepat dari hitungan pemerintah 10 tahun. Jadi secara ekonomis sangat masuk akal bagi investor,” papar Bahlil. 

Bahlil menekankan, pemanfaatan EBT tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga, tetapi juga menjadi tulang punggung industrialisasi dan hilirisasi. Indonesia yang kaya nikel, bauksit, tembaga, hingga timah membutuhkan pasokan energi bersih untuk mendorong daya saing industri global. 

“Energi terbarukan adalah kunci. Industri masa depan tidak bisa lagi bergantung pada energi fosil. Indonesia harus ambil peran besar di sini,” katanya. 

Selain geotermal, pemerintah juga tengah menyiapkan pembangunan pembangkit tenaga surya (PLTS) berskala besar, termasuk rencana memasang 80–100 GW panel surya. Program “satu desa, satu megawatt” pun akan digenjot agar energi bersih bisa dirasakan hingga ke pelosok. 

Konsistensi Jadi Kunci 

Dalam kesempatan itu, Bahlil juga menyinggung dinamika global yang tidak selalu konsisten menjalankan kesepakatan internasional, termasuk Paris Agreement. Namun, ia menegaskan Indonesia akan tetap berkomitmen. 

“Dunia hari ini butuh pemimpin yang konsisten, bukan sekadar besar atau kuat. Indonesia mungkin bukan negara sebesar Amerika, tapi kita belajar untuk konsisten. Yang baik kita ikuti, yang tidak kita tinggalkan,” pungkasnya.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Geothermal

Index

Berita Lainnya

Index