Listrik Indonesia | Pemerintah tengah bersiap merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Langkah ini diambil guna menciptakan iklim investasi yang lebih menarik dan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha, khususnya di sektor panas bumi dalam negeri.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa salah satu fokus utama revisi tersebut adalah pemberian insentif fiskal, termasuk pengurangan beban pajak yang selama ini dinilai menjadi hambatan.
“Internal rate of return (IRR) proyek panas bumi kita masih tergolong rendah, sekitar 8 hingga 9 persen. Salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan menghapus pajak tubuh bumi yang masih berlaku saat ini,” kata Eniya dalam siaran dialognya, dikutip Senin, (14/7). Ia menambahkan bahwa kebijakan ini akan memberi sinyal positif bagi para calon investor.
Tak hanya itu, pemerintah juga akan membahas penyederhanaan aspek perpajakan lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Masuk. Menurut Eniya, kedua komponen ini perlu dikaji bersama dengan Kementerian Keuangan agar tidak menjadi penghambat dalam pengembangan proyek panas bumi.
Dari total isi PP 7/2017, setidaknya terdapat 17 poin yang masuk dalam daftar revisi pemerintah. Perubahan-perubahan tersebut, kata Eniya, diarahkan untuk memperkuat daya tarik investasi serta mempercepat pengembangan energi panas bumi sebagai bagian dari transisi energi nasional.
Revisi ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas pemanfaatan energi baru terbarukan, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang selama ini mendominasi bauran energi nasional.
“Panas bumi memiliki potensi besar, dan sudah seharusnya kita mendukungnya dengan regulasi yang adaptif dan berpihak pada investasi,” tutup Eniya.
