Listrik Indonesia - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa draf Nationally Determined Contribution (NDC) 3.0 yang disusun Pemerintah Indonesia belum menunjukkan target dan aksi nyata dalam merespons krisis iklim global.
Di tengah suhu panas ekstrem dan anomali cuaca yang melanda berbagai wilayah di Indonesia, IESR mendorong pemerintah untuk memiliki target penurunan emisi yang lebih ambisius, sejalan dengan Persetujuan Paris (Paris Agreement) dalam upaya mencegah bencana iklim global.
IESR juga meminta pemerintah segera menyampaikan NDC 3.0 kepada UNFCCC sebelum Conference of the Parties (COP) 30 yang akan berlangsung pada November 2025. Langkah ini diharapkan menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam aksi iklim global, sebagaimana telah dimulai sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kemajuan Ada, Tapi Belum Cukup Selaras dengan Target Global
Menurut IESR, draf NDC 3.0 yang telah dikomunikasikan oleh National Focal Point menunjukkan beberapa peningkatan dibandingkan Enhanced NDC (ENDC) sebelumnya, antara lain:
- Target penurunan emisi lebih tinggi,
- Perubahan baseline ke referensi emisi tahun 2019,
- Perluasan cakupan gas rumah kaca seperti hidrofluorokarbon (HFC), serta sektor kelautan dan hulu migas,
- Penambahan target nir-sampah (zero waste) tahun 2040, dan
- Penerapan prinsip transisi energi berkeadilan.
Namun demikian, target dan aksi iklim yang ditetapkan belum sepenuhnya selaras dengan tujuan pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2°C, sebagaimana diamanatkan oleh Persetujuan Paris.
Aksi Iklim Jangan Ditunda Hingga 2035
Fabby Tumiwa, CEO IESR, menegaskan bahwa baik target bersyarat (conditional) maupun tidak bersyarat (unconditional) dalam draf NDC 3.0 belum konsisten dengan ambisi global.
“Penundaan aksi iklim hingga setelah 2035 berisiko besar secara teknis dan ekonomi. Ini dapat menghambat target Indonesia Emas 2045 yang memerlukan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun,” jelas Fabby.
Fabby menilai bahwa Indonesia masih bisa mempercepat puncak emisi ke tahun 2030 melalui langkah nyata seperti:
- Pensiun dini PLTU batu bara,
- Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hingga 100 GW dalam lima tahun, dan
- Penggantian 3,4 GW PLTD tersebar yang masih dioperasikan oleh PT PLN.
Analisis dan Rekomendasi Strategis dari IESR
Berdasarkan analisis Climate Action Tracker (CAT) — di mana IESR merupakan salah satu anggotanya — Indonesia perlu menetapkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 850 juta ton CO?e pada 2030, dan 720 juta ton CO?e pada 2035, di luar kontribusi dari sektor kehutanan dan lahan (FOLU).
Untuk mencapai target tersebut, IESR merekomendasikan empat langkah strategis utama:
Pensiun dini PLTU tua dan beremisi tinggi hingga 9 GW sebelum 2035, disertai penggantian energi terbarukan hingga 100 GW.
Reformasi subsidi bahan bakar fosil agar lebih efisien dan mendorong transisi energi bersih.
Peningkatan efisiensi energi di sektor industri dan bangunan melalui standardisasi, sertifikasi, dan kemudahan akses pembiayaan hijau.
Penurunan emisi metana sebesar 30% pada 2030 sesuai komitmen Global Methane Pledge yang disetujui Indonesia sejak 2021.
Kebutuhan Sistem Perlindungan Pasar Karbon
Di tengah penantian finalisasi NDC 3.0, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 tentang Instrumen Nilai Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional pada 10 Oktober 2025.
IESR menilai Perpres ini merupakan langkah penting untuk memperkuat kerangka tata kelola pasar karbon nasional. Namun, diperlukan sistem perlindungan (safeguard) agar integritas pasar karbon tetap terjaga, baik dari sisi pembeli maupun penjual.
Selain itu, mekanisme yang transparan dan akuntabel juga dibutuhkan untuk mencegah potensi kecurangan karbon (carbon fraud) serta menjaga kredibilitas Indonesia di mata publik dan investor internasional.
Saatnya Indonesia Tunjukkan Kepemimpinan Iklim
Dengan kondisi iklim global yang semakin ekstrem, IESR menegaskan bahwa NDC 3.0 harus menjadi peta jalan ambisius yang mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin kawasan Asia Tenggara dalam mitigasi perubahan iklim melalui transformasi energi terbarukan dan pengelolaan emisi yang bertanggung jawab. “Aksi iklim bukan hanya kewajiban moral, tetapi investasi untuk masa depan bangsa,” tutup Fabby.
